GAGAL GINJAL TAPI TIDAK GAGAL IMAN (2)
Tanggal 24 Desember 2014 siang saya mengalami sesak napas dan mual-mual. Karena tidak kuat, saya minta dibawa ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit sayapun diinfus dan diberi obat untuk meredakan sakit mual-mual. Kurang lebih tiga jam setelah diinfus saya merasakan rasa mual mulai hilang. Tapi Dokter menganjurkan saya untuk opname dan diobservasi lebih jauh karena melihat kreatin saya cukup tinggi yaitu 7.3, tapi saya menolak untuk rawat inap mengingat malamnya saya akan memimpin ibadah malam natal. Walau dengan kekuatan yang menurun dan muka mulai kelihatan pucat pasi, saya merayakan natal bersama dengan jemaat. Sepulang dari Ibadah Malam Natal tersebut saya merasakan tubuh menjadi lemah dan tidak bisa makan. Sepanjang malam terus tersiksa dengan perut mual dan melilit, bahkan esok harinya tanggal 25 Desember merasakan kondisi fisik semakin berat dan badan mulai sesak napas, mual, muntah dan tubuh gemetaran. Akhirnya saya memutuskan kembali ke rumah sakit dan mendapat penanganan medis secara khusus. Sesampai di rumah sakit saya diinfus dan diambil darah untuk diobservasi tentang penyakit yang saya alami.
Beberapa jam kemudian saya mendapatkan laporan bahwa saya mengalami radang pankreas. Hasil pemeriksaan darah, Pancreatic amylasemencapai 86 (normal < 53), dan Lipasemencapai 112 (normal < 60). Dan dari hasil pemeriksaan darah, ureum dan kreatinin saya juga naik dalam waktu dua hari. Ureum dari 174 menjadi 214 (normal 19 – 44). Sedangkan kreatinindari 7.3 menjadi 8.4 (normal 0.9 – 1.3). Akibat radang pankreas dan ureum yang tinggi maka saya mengalami kondisi tubuh yang lemah disertai mual, muntah-muntah dan sesak napas. Dokter memutuskan untuk cuci darah sebab jika tidak akan membahayakan organ tubuh yang lain. Sebelum menjalani cuci darah (hemodialisis) saya harus menjalani operasi kecil atau anestesi. Anestesi atau pembiusan adalah pengurangan atau penghilangan sensasi untuk sementara, sehingga operasi atau prosedur lain yang menyakitkan dapat dilakukan. Setelah anestesi maka operasi dilanjutkan dengan pemasangan mahurkar di bagian bawah leher. Mahurkar ini dipakai sebagai alat untuk mencuci darah, di mana dilengkapi dengan pipa sementara yang dihubungkan dengan mesin dialisis. Mahurkar ini bersifat sementara dan hanya dipakai dalam waktu 2-3 minggu. Setelah itu proses cuci darah bisa menggunakan double lumen yang dipasang di dada kanan atas. Double lumen juga bersifat temporer di mana hanya bisa dipakai sekitar dua tahun. Alternatif lain untuk cuci darah biasanya lewat lengan (cimino), yang bisa dipakai untuk jangka waktu yang lama dan permanen.
Selama tanggal 25 Desember 2014 sampai 25 Januari 2015 saya harus masuk keluar Rumah Sakit Gading Pluit sebanyak tiga kali. Pengalaman yang penuh dengan kesesakan atau yang sering disebut “hidup dalam lembah”. Lembah memiliki arti masalah, penderitaan, dan kesukaran. Pengalaman hidup dalam Lembah Air Mata saya alami ketika berada di rumah sakit, di mana karena kesakitan yang luar biasa membuat saya mencucurkan air mata. Radang pankreas dan ureum yang tinggi membuat perut terasa mual dan berulangkali muntah disertai sesak napas. Selama di rumah sakit saya sukar tidur dan cenderung mengarah ke insomnia. Bersyukur memiliki isteri yang setia, yang mendampingi saya di rumah sakit selama 24 jam tiap hari. Hampir tiap malam pun isteri tidak bisa tidur dengan nyenyak karena berulangkali terbangun dan mendampingi saya.
Saking beratnya penderitaan yang saya alami, air mata pun berulang kali tumpah. Maklum, baru pertama kali ini saya harus menjalani operasi dan dirawat cukup lama di rumah sakit. Dari orang yang takut dengan jarum suntik, sampai menjadi pesakitan yang setiap hari berhadapan dengan jarum suntik. Mungkin bagi orang lain, apa yang saya alami dianggap biasa dan tidak menyakitkan, tapi bagi saya pribadi pengalaman traumatis dan tekanan psikis disertai kesakitan secara fisik membuat saya merasa berada di lembah kekelaman. Namun saya ingat akan janji Tuhan bahwa saat kita berada dalam lembah kekelaman DIA tetap beserta kita. “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku” (Mazmur 23:4).
Ketika menjalani cuci darah pertama kali, ternyata pembuluh darah saya sempat pecah dan di lengan mengeluarkan darah (di bawah kulit), akibatnya lengan membengkak dan berubah menjadi merah keunguan. Bahkan malamnya tiba-tiba gusi juga mengeluarkan darah yang cukup banyak. Kata Dokter, saya rupanya tidak tahan dengan heparin (yaitu obat yang sering diberikan terus-menerus untuk mengencerkan darah sehingga kecenderungan penggumpalan darah berkurang dari sebelumnya). Melihat kondisi seperti ini saya berpikir bahwa saya tidak akan tahan jika menggunakan metode hemodialisis, karena itu alternatif lain saya ambil, yaitu menggunakan CAPD.
CAPD adalah singkatan dari Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis. Continous berarti proses dialysis tersebut berlangsung terus-menerus, sedangkan ambulatory berarti penderita dapat beraktivitas seperti biasa dengan metode ini. Peritoneal berasal dari kata peritoneum, yakni selaput tipis di perut dimana selaput ini yang menjadi tempat berlangsungnya dialisis. Sementara dialysis adalah suatu istilah medis untuk pembuangan semua produk tubuh yang tak berguna dari darah. CAPD merupakan bagian dari dialisis peritoneal, yakni suatu metode yang dikembangkan untuk menghilangkan racun dan kelebihan air dari tubuh manusia. Metode-metode semacam ini timbul karena adanya kerusakan pada ginjal dimana ginjal tidak mampu berfungsi seperti normal; karena itu perlu dicari pengganti ginjal. Dalam metode ini, penggantinya adalah organ tubuh manusia yang disebut peritoneum(bandingkan dengan hemodialisis yang memakai mesin). Peritoneum itu sendiri merupakan selaput tipis yang terletak pada perut manusia, menyelubungi organ-organ tubuh yang terletak dalam perut.
Prinsip kerja CAPD sebenarnya cukup sederhana. Cairan dialysis (dikenal dengan istilah dialisat) dimasukkan melalui sebuah kateter (selang kecil) yang menembus dinding perut sampai ke dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolik dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut. Setelah itu, cairan tersebut dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan dialisat yang baru.
Ternyata, setelah dipasang kateter di perut (CAPD) masalah baru muncul. Pertama kali ketika dicoba memasukkan cairan dialisat di rongga perut dan dilakukan pembilasan pasca operasi, semua berjalan dengan lancar. Pembilasan berikutnya terjadi masalah, karena cairan dialisat sulit masuk, sehingga kantung dialisat dipejet-pejet agar bisa masuk. Tapi saat pembilasan untuk mengeluarkan cairan dialisat ternyata tidak bisa keluar cairannya. Akibatnya perut seperti “begah” dan terasa mules, sakit sekali.
Akhirnya, saya harus rawat inap lagi dan Dokter menganjurkan untuk menjalani operasi dengan laparaskopi agar dapat memastikan apa penyebab slang kateter CAPD tidak bisa mengeluarkan cairan dialisat. Laparoskopiadalah jenis prosedur pembedahan di mana sayatan kecil dibuat, biasanya di pusar, lalu suatu tabung penglihat (laparoskop) dimasukkan melaluinya. Laroskop adalah instrumen ramping yang pada dasarnya merupakan sebuah teleskop mini dengan sistem serat optik yang dapat menerangi bagian-bagian di dalam perut. Tabung penglihat ini memiliki kamera kecil sebagai mata. Hal ini memungkinkan dokter untuk memeriksa organ-organ perut dan panggul pada layar monitor yang terhubung dengan tabung.
Setelah di laparaskopi diketahui ada nanah di slang yang menyumbat, sehingga cairan tidak bisa keluar. Selain ada nanah saya juga mengalami infeksi darah (setelah diperiksa darahnya). Satu pertanyaan timbul, dari mana nanah ini bisa menyumbat slang kateter? Mengapa terjadi infeks darah? Maka Dr. BarlianSutedja, Sp.B (yang mengoperasi dan laparaskopi) dan Dr. J.Widodo Sutandar Sp.PD, KGH (dokter spesialis ginjal) mengambil dan membersihkan nanah dari slang kateter dan sekaligus melakukan pemeriksaan melalui kultur darah, yaitu: pemeriksaan yang dilakukan dengan cara mengisolasi dan mengidentifikasi kuman organisme berbahaya yang menyebabkan bakteremia (invasi bakteri dalam darah) dan septisemia. Dari hasil kultur darah ternyata ditemukan bakteri acinetobacter Baumanii di dalam rongga perut. Karakteristik dari bakteri ini adalah aerobik, berbentuk koko-basil, dan dapat dengan cepat tahan (resisten) terhadap berbagai antibiotik. Karena bakteri ini cukup bandel dan sulit dilumpuhkan dengan berbagai antibiotik maka membutuhkan perawatan yang cukup lama. Tapi puji Tuhan, akhirnya ada antibiotik yang disuntikkan yakni tygacil, dapat membunuh bakteri ini.
Untuk membunuh bakteri itu ternyata tidak hanya disuntik, perut harus kosong (menjalani puasa sampai satu minggu, sari makanan dikirim melalui infus). Di samping itu slang kateter CAPD yang sudah terpasang harus dilepas semua. Saya harus menjalani operasi lagi. Selama opname di rumah sakit, lima kali saya harus masuk keluar ruang operasi. Dan ada tujuh tusukan bekas operasi di sekujur badan saya. Sehingga dalam hati saya bergumam “CAPek Deh” (CAPD).
Tiga minggu selama di rumah sakit menjadi waktu yang terasa panjang dan melelahkan. Di samping mengalami kesakitan secara fisik, juga berpengaruh terhadap kejiwaan (psikis). Dalam kondisi seperti itu saya menjerit kepada Tuhan dan minta kekuatan iman, agar jangan sampai iman menjadi gugur dan kemudian menyalahkan Tuhan. Lawatan Tuhan dan jamahan kasih-Nya begitu dahsyat saya rasakan selama saya berada di rumah sakit. Dalam keadaan sukar tidur menjadi kesempatan bagi saya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mendengar kotbah yang disampaikan oleh hamba-hamba Tuhan di Radio Prestasi, memuji dan menyembah Tuhan sambil merenungkan apa rencana dan kehendak Tuhan di balik derita yang saya alami.
Saat keluar dari RS Gading Pluit pada 25 Januari 2015, saya merasa seperti menghirup udara bebas di luar. Perasaan diliputi dengan sukacita yang tak terkira, namun hati kecil saya ada perasaan menyesal, mengapa rencana pemasangan CAPD untuk membantu fungsi ginjal saya koq akhirnya gagal? Saya belum mendapatkan jawaban yang pasti, hanya Tuhan saja yang tahu dan mengatur semua ini. Kelak saya akan menggunakan CAPD lagi atau Hemodialisis atau transplantasi ginjal menjadi pertanyaan besar bagi saya. Satu tekad saya, jika Tuhan masih memberi umur panjang, saya akan tetap setia mengiring Dia dan melayani Dia lebih sungguh-sungguh. Karena itu sepulang dari rumah sakit tanggal 25 Januari 2015 dalam kondisi tubuh yang masih lemas dan membutuhkan recovery, tanggal 04 Februari 2015 saya sudah menyampaikan firman Tuhan di Ibadah Raya GIA KeGa. Saya percaya bahwa tidak ada yang salah dari keputusan-keputusan Tuhan. Saya tidak mengerti rencana-Nya, namun saya percaya rencana-Nya selalu indah pada waktunya.
BERSAMBUNG....